Jumat, 29 Mei 2009

Satu Abad Kota Medan


SEBELUM 1975, Kota Medan merayakan hari ulang tahunnya setiap 1 April. Penetapan hari ulang tahun itu didasarkan pada penetapan kota Medan sebagai Gemeenteraad (dewankota) pada 1 April 1909Jika hari ulang tahun itu tidak diubah pada 1975, pada 1 April 2009 ini merupakan hari ulang tahun satu abad Kota Medan. Melakukan refleksi melalui peringatan satu abad kota Medan sebagai satu kota dengan warisan jejak peradaban Eropa yang tinggi, tentu beda dengan jika yang dijadikan tonggak adalah hari jadi sebuah kampung. 


Apalagi tidak ada bukti historis dari kampung itulah 
Medan berkembang menjadi kotamodern. Ini semua terjadi hanya gara-gara sekelompok orang tidak mau segala sesuatu yang berbau kolonial. Lalu, di awal 1970-an di Medan orang mencaricari hari jadi kota
 yang baru. 

Yang penting tidak ada bau Belanda-nya, mereka mencoba mengingkari bahwa Kota Medan ciptaan Belanda. Lalu, mereka tersesat ke sebuah legenda bernama Riwayat Hamparan Perak. Fakta hari jadi sebuah kota dalam pengertian modern di dalam riwayat itu jelas tidak ada. Lantas, fakta yang tidak ada itu diada-adakan, dijungkirbalikkan, yang penting ketemu tanggal yang tidak berbau kolonial Belanda. 

Ketemulah tanggal simsalabim 1 Juli 1590, yang sekarang diperingati sebagai tanggal hari jadi Kota Medan. Satu tanggal yang manipulatif, jauh dari maksud mencari tanggal pengganti hari jadi sebuah kota modern, yang embrio kemunculannya baru ada pada abad ke-19. 

Dokumen yang ada di arsip Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (PUSSIS) Universitas Negeri Medan (Unimed) tampak bahwa upaya untuk mengganti hari jadi kota yang berbau Belanda itu dilakukan melalui seminar pada 27–29 Maret 1971 yang kemudian bergulir dibentuknya Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Medan. 

Nah, panitia inilah yang kemudian memfokuskan diri untuk menelaah teks tradisional yang anonim, Riwayat Hamparan Perak (RHP) sebagai bahan untuk mencari hari jadi kota Medan. Pada waktu itu memang dalam disiplin ilmu sejarah, belum berkembang kajian kritis atas sebuah teks tradisional, sehingga tidak dipertanyakan apakah sebuah teks tradisional bisa dipertanggungjawabkan untuk mencari data historis? 

Apakah teks menyimpan fakta sejarah atau teks tradisional sebenarnya sebuah wacana sejarah? Karena pertanyaan kritis itu tidak diajukan, panitia tidak menyadari di belakang hari akan menimbulkan masalah yang pelik ketika paradoks dalam teks ini dibuka orang satu per satu. Misalnya panitia berdasar teks ini menyatakan bahwa pendiri kota Medan adalah Guru Patimpus, orang Karo bermarga Sembiring. 

Namun, sekarang di internet ada bantahan berdasar teks yang sama, Guru Patimpus bukan marga Sembiring, dia adalah marga Sinambela, keturunan Sisingamangaraja. Jadi, jika teks itu tetap dipakai, bukan tidak mungkin akan timbul polemik tak berujung, pendiri Kota Medan bukan orang Karo, melainkan orang Batak Toba. 

Jadi, jelas penggunaan teks RHP bermasalah untuk mencari jejak historis sejarah kota Medan. Namun, karena waktu itu (awal 1970-an) yang penting mencari hari jadi kota yang tidak berbau kolonial, RHP pun menjadi korban.

Kebesaran Guru Patimpus sebagai ulama Islam yang penting dan kharismatik, menurut RHP, menjadi terdistorsi oleh tafsir Panitia Hari Jadi Kota Medan, menjadi pendiri sebuah kota yang justru tidak dia dirikan. Jika menolak 1 April 1909 karena buatan Belanda, masih ada tanggal lain yang lebih layak, misalnya pindahnya Ibu Kota Asisten Residen Deli dari Labuhan ke Medan (1879), tanggal dipindahkannya Ibu Kota Residen Sumatera Timur dari Bengkalis ke Medan (1 Maret 1887), atau pindahnya Istana Kesultanan Deli dari Labuhan ke Medan (18 Mei 1891). 

Kampung tidak mungkin berevolusi menjadi sebuah kota jika tidak ada faktor-faktor luar yang mendukungnya (dalam hal Kota Medan perkembangan spektakuler perkebunan), seperti banyak ada ratusan kampung yang sampai sekarang tetap menjadi kampung dan tidak berevolusi menjadi sebuah kota. 

Mengenang satu abad kota Medan dari desain besar peradaban modern Eropa, jelas bisa membuka mata kita. Amburadulnya Kota Medan sekarang ini disebabkan salah urus penanggung jawab kota, siapa lagi kalau bukan wali kota dan dewan perwakilan (DPRD) Medan. 

Sebab, sejak didesain Belanda akhir abad ke-19 sebagai sebuah kota modern dengan replika peradaban Eropa di dalamnya, Kota Medan merupakan salah satu ikon penting kota yang unik, tidak ada duanya di dunia. Sebuah kota Paris van Sumatera yang dirancang dan puluhan tahun diurus dengan serius oleh dewan kota (Gemeenteeraad) dan wali kotanya (Burgemeester).

Mengenang satu abad Kota Medan yang kini telah menjadi bagian dari kota dunia yang mengglobal sekaligus tanpa roh peradaban kota, setiap tahun ada celah untuk membangkitkan pertanyaan, apa yang menyebabkan kota yang semula luar biasa ini berubah menjadi kota yang salah urus, apa saja warisan kota ini yang telah dijarah, siapa saja pejabat yang tidak benar-benar mengurus kota ini seperti selama puluhan tahun sebelumnya diurus dengan baik, dan siapa saja mereka yang “berjasa”menghancurkan peradaban kota? 

Lalu,apa yang bisa segera kita lakukan untuk menyelamatkan jejak peradaban kota yang digilas kepentingan ekonomi dan politik jangka pendek ini? Namun sayang, dalam memperingati hari jadi kota Medan sejak 1975, setiap tahun kita tidak lagi mengenang sisi tingginya peradaban kota ini karena memori kita disesatkan untuk mengenang sebuah kampung. 
(*) 

Sumber :
DR PHIL ICHWAN AZHARI, Ketua Pussis Unimed
http://www.apeksi.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=277&Itemid=75
29 Mei 2009

Sumber Gambar:
http://media.photobucket.com/image/istana%20kesultanan%20deli/penage/infokito/IstanaMaimum.jpg

2 komentar: