Ada nilai sejarah dan budaya yang menyelimuti perjalanan istana yang didominasi warna kuning itu. Sejarah yang dicatat beberapa ahli menguak bagaimana hubungan politik, ekonomi, dan budaya terjalin antara masyarakat Melayu dan pihak luar sehingga melahirkan ciri-ciri kebudayaan yang unik dan termanifestasikan melalui elemen-elemen bangunan dalam istana.
Sementara itu, nilai budaya yang berkembang di seputar istana merupakan sistem kepercayaan masyarakat lokal yang diwariskan secara turun-temurun kepada generasi selanjutnya. Dengan demikian, meskipun wujud Istana Maimoon telah melintasi beberapa generasi, nilai-nilai kulturalnya masih tetap terjaga.
Nilai sosio-kultural
Nilai budaya yang mencuat dari Istana Maimoon tidak hanya berasal dari keindahan arsitekturnya, tetapi juga dari tata letaknya. Letak istana menyatu dengan masjid dan lapangan terbuka. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tidak ada tembok yang memisahkan ketiganya sehingga memungkinkan bagi masyarakat umum mendekati bahkan memasuki area istana.
Tentu saja ini menjadi pemandangan menarik, mengapa sebuah istana tidak dikelilingi tembok-tembok yang kokoh guna melindungi sultan dan keluarganya dari gangguan luar? Di sinilah letak perbedaan model kepemimpinan antara kesultanan Melayu dengan kekaisaran di Jepang, Cina, atau kerajaan-kerajaan di daratan Eropa. Seorang kaisar atau raja di luar kawasan Melayu diyakini sebagai manusia setengah dewa yang tidak tersentuh bahkan hampir tidak pernah terlihat oleh rakyatnya sendiri. Alasan keamanan memaksa mereka hidup di balik tembok-tembok besar juga tinggi dan dijaga ribuan prajurit.
Fenomena semacam itu tidak terjadi di tanah Melayu. Konsep keamanan bagi kesultanan Melayu dibangun di atas saling percaya antara sultan dan rakyatnya. Sultan menjamin keamanan, keadilan, dan kemerataan ekonomi terhadap semua rakyat. Melalui kebijakan tersebut, rakyat bukanlah ancaman, melainkan partner yang bisa diajak berdialog dan bekerja sama membangun pemerintahan yang baik.
Dalam istilah Melayu dikenal ''Sultan ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah.'' Artinya, seorang sultan hanyalah manusia biasa yang memang harus dijunjung dan dihormati, namun tidak melebihi tinggi ranting dan dikedepankan tidak lebih dari satu langkah. Dengan demikian, seorang sultan masih dapat dilihat, disapa, bahkan disentuh oleh rakyatnya. Sultan dan rakyat bukanlah dua entitas yang berbeda, tetapi merupakan dua unsur masyarakat yang saling melengkapi. Oleh sebab itu, seorang sultan tidak perlu berlindung di balik tembok besi, karena sejatinya rakyat sendiri merupakan benteng yang kokoh bagi sultan dan keluarganya.
Menikmati keindahan istana
Saling percaya antara sultan dan rakyat melebihi kokohnya pertahanan tembok, bahkan benteng sekalipun. Di sekitar Istana Maimoon, tidak ada batas perlindungan fisik, hanya hamparan tanah lapang dengan rumput hijau dan taman bunga yang tertata apik. Saat ini, setiap menjelang sore, anak-anak dan orang dewasa membaur dalam permainan. Pohon palem dan cemara menambah pesona indahnya area itu. Di pelataran istana, terdapat pondok kecil tempat menyimpan benda-benda sejarah peninggalan keluarga kesultanan.
Secara historis, kemegahan Istana Maimoon berbanding lurus dengan kemakmuran Kesultanan Deli pada masa Sultan Makmun ar-Rasyid Perkasa Alamsyah, sultan ke-8 dan pendiri istana. Sultan Deli yang juga menjadi kepala Masyarakat Hukum Adat menyewakan tanah kurang lebih seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) kepada pengusaha Belanda untuk perkebunan tembakau yang terkenal dengan sebutan Tembakau Deli.
Asro Kamal Rokan mencatat, melalui kontrak keperdataan yang dikenal dengan Akta Konsesi, pada Juli 1863, dikelolalah tanah tersebut oleh beberapa perusahaan swasta Belanda, di antaranya Deli Maatchappij dan Deli Cultuur Maatschapij. Dari hasil penyewaan tanah itu, pihak kesultanan mendapatkan keuntungan sangat besar sehingga mampu membangun sarana-sarana publik. Masjid Raya Medan, Masjid Labuhan Deli, dan Istana Maimoon tercatat sebagai bangunan megah yang dibangun pada masa itu. Perkebunan tembakau terus berkembang dari tahun ke tahun, hingga pada 1874, jumlah perusahaan dari Belanda mencapai 22 buah.
Pesatnya kemajuan ekonomi dan intensitas persentuhan kebudayaan lokal dengan luar, melahirkan corak kebudayaan yang anggun, seperti terlihat pada arsitektur bangunan Istana Maimoon. Bangunan istana ini adalah hasil perpaduan antara gaya arsitektur Melayu, Arab, Moghul, India, dan Eropa. Di bagian depan tangga, terpampang prasasti marmer yang ditulis dengan haruf latin berbahasa Belanda. Pembangunannya konon menghabiskan dana sebesar Fl 100.000 (atau setara 1 juta gulden Belanda).
Istana yang dibangun pada 26 Agustus 1888 ini terdiri atas dua lantai dengan ketinggian 14,40 meter. Di bagian depan, terdapat 28 anak tangga berundak terbuat dari marmer mengkilat asal Italia. Dinding dan atapnya dihiasi ornamen perpaduan antara Melayu dan Timur Tengah. Sang arsitek, TH Van Erp yang berkebangsaan Belanda, merancang bentuk pintu dan jendela dengan lebar dan tinggi sesuai gaya arsitektur Belanda. Tapi, terdapat pula beberapa pintu yang bergaya Spanyol.
Adapun pengaruh Arab Islam tampak dari keberadaan lengkungan (arcade) pada atap dengan tinggi lengkungan berkisar antara lima sampai delapan meter. Keseluruhan bangunan ditopang 82 tiang batu berbentuk segi delapan dan 43 tiang kayu dengan lengkungan-lengkungan yang berbentuk lunas perahu terbalik dan ladam kuda.
Sesaat setelah menikmati bagian luar istana, Anda dapat memasuki ruang dalam yang terbagi dari ruang induk, sayap kanan, dan sayap kiri. Atap bangunan yang berbentuk limas dan kubah berada tepat di atas tiga ruangan tersebut. Di ruang induk (balairung) seluas 412 meter, terdapat singgasana berwarna kuning menyala yang berhiaskan kristal cantik dari Eropa. Ruang ini merupakan tempat upacara penobatan raja dan upacara adat lainnya. Di tempat ini pula, sang Sultan menerima para pembesar kesultanan lain. Sementara itu, pada dinding ruangan ini terpajang foto sultan-sultan Deli dan permaisuri.
Selain singgasana, ruangan yang berhias ornamen dengan warna-warni yang indah ini juga terdapat beberapa benda peninggalan Kesultanan Deli, seperti sejumlah keris, pedang, payung kerajaan, tombak, lima buah gebuk (tempat air untuk membasuh tangan dan kaki sultan), dan tepak sirih. Semua benda tersebut masih terawat cukup baik. Dari ruangan ini, dapat disaksikan ukir-ukiran Melayu, seperti motif pucuk rebung pada pinggiran atas lesplank.
Ruangan-ruangan lain yang dulunya merupakan ruang pribadi raja, permaisuri, dan keluarganya kini dimanfaatkan untuk keperluan lain. Ada yang digunakan untuk memamerkan souvenir dan ada pula yang dipakai untuk menyimpan benda-benda peninggalan kesultanan.
Istana Maimoon berada di area seluas empat hektare. Istana ini sendiri memiliki luas 2.772 meter persegi dan 30 ruangan. Sejak 1946, istana tersebut dihuni para ahli waris Kesultanan Deli. Berbagai pertunjukan seni tradisional Melayu sering digelar dalam rangka memeriahkan hari-hari besar Islam.
Nilai sejarah dan budaya Istana Maimoon mengundang decak kagum para pengunjungnya. Meski demikian, potensi pariwisata yang dimilikinya belum digarap secara optimal. Berbagai pihak, baik pemerintah maupun lembaga swasta kini sedang berupaya secara serius merawat dan mempercantik kondisi fisik istana dengan tetap mempertahankan bentuk aslinya.
Di Antara Sejarah dan Mitos
Kemegahan Istana Maimoon yang kita saksikan saat ini tidak lepas dari perjalanan sejarah Kesultanan Deli di Sumatra Timur. Pada sekitar tahun 1612, Kerajaan Aceh mengutus seorang laksamana bernama Sri Paduka Sultan Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Khoja Bintan ke tanah Deli.
Gocah Pahlawan berhasil mengambil alih kekuasaan Kerajaan Haru di Deli Tua pada 1630. Gocah Pahlawan kemudian menjadi penguasa di daerah taklukan itu mewakili penguasa Aceh hingga tahun 1653. Pada 1669, Deli melepaskan diri dari Aceh yang semakin melemah akibat situasi politik internal yang menggerogoti kekuasaan raja. Tak banyak catatan sejarah yang membicarakan periode awal pisahnya Kerajaan Deli dari Kerajaan Aceh.
Namun, menurut sejarah, pada tahun 1854, Deli kembali ditaklukkan oleh Aceh dan Osman Perkasa Alam diangkat sebagai Sultan. Kedudukan Sultan Osman digantikan oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam yang memerintah pada tahun 1861-1873.
Kegemilangan Kesultanan Deli mencapai puncaknya ketika dipimpin oleh putra sulung Sultan Mahmud Perkasa Alam, yaitu Sultan Makmun al-Rashid Perkasa Alam (1873-1924). Pada masa beliaulah pembangunan berbagai sarana pemerintahan berjalan pesat, termasuk pembangunan Istana Maimoon.
Mitos di seputar istana
Cerita-cerita tentang kekuatan gaib memang tidak pernah sepi dari istana, termasuk di Istana Maimoon. Oleh Claude Levi-Strauss, cerita-cerita gaib tersebut dinamakan mitos. Seperti, di Istana Maimoon, ada cerita tentang Putri Hijau; di Mataram, ada cerita tentang Ratu Laut Selatan; dan sebagainya.
Pelajaran penting dari mitos-mitos itu tidak terletak pada benar atau tidaknya cerita tersebut, tetapi bagaimana ia bekerja di tengah masyarakatnya. Keberadaan mitos sangat penting, terutama untuk menjaga keharmonisan hidup karena mitos sarat dengan nilai-nilai yang mencegah masyarakat melakukan pelanggaran-pelanggaran sosial.
Mitos tentang Putri Hijau di Istana Maimoon berkaitan dengan meriam buntung yang diletakkan di sisi kanan depan istana, di dalam sebuah bangunan atau rumah Batak Karo. Dari cerita ini, tergambar bagaimana pasang surut hubungan antara Kerajaan Deli dan Aceh yang diwarnai dengan penaklukan dan perdamaian.
Alkisah, dahulu di Kesultanan Deli Lama, sekitar 10 kilometer dari Medan, hidup seorang putri cantik bernama Putri Hijau. Kecantikan sang putri terdengar oleh Sultan Aceh. Sang sultan pun jatuh hati dan melamar sang putri. Sayang, lamarannya ditolak oleh kedua saudara Putri Hijau, yakni Mambang Yazid dan Mambang Khayali. Penolakan itu menimbulkan kemarahan Sultan Aceh.
Kemudian, terjadilah perang antara Kesultanan Aceh dan Deli. Konon, saat perang itu salah satu saudara Putri Hijau, yaitu Mambang Yazid menjelma sebagai ular naga dan Mambang Khayali menjadi sepucuk meriam yang terus menembaki tentara Aceh. Karena terus-menerus menembaki pasukan Aceh, meriam itu pecah menjadi tiga keping. Pecahan-pecahan meriam itu hingga saat ini ada di tiga tempat, yakni di Istana Maimoon, Desa Sukanalu (Tanah Karo), dan Deli Tua (Deli Serdang).
Begitu populernya cerita di atas, hingga nama Istana Maimoon juga dikenal dengan nama Istana Putri Hijau. Dan, meriam buntung hingga kini dianggap keramat oleh masyarakat sekitar.rid/kem (28 April 2009)